BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia terdiri dari beribu-ribu suku
bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Masing-masing mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda. Pengertian budaya itu sendiri ialah hasil cipta,
rasa, dan karsa manusia. Perkembangan suatu budaya dari suatu bangsa di
pengaruhi oleh perkembangan intelektualitas dan perilaku social masyarakatnya.
Sehingga budaya itu sendiri tidak dapat terhindar dari perubahan mengikuti
perkembangan zaman.
Namun perubahan tersebut harus tetap mempertahankan nilai dasar budaya itu sendiri sehingga tetap terjaga kemurniaanya. Salah satu budaya yang akan kami kaji lebih dalam kali ini ialah Kebudayaan Aceh. Di mana Aceh merupakan salah satu Daerah Istimewa di Indonesia. Selain out rakyat Aceh menjadikan ajaran Islam sebagai dasar yang mengatur kehidupan. Tak heran daerah ini terkenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”.
Namun perubahan tersebut harus tetap mempertahankan nilai dasar budaya itu sendiri sehingga tetap terjaga kemurniaanya. Salah satu budaya yang akan kami kaji lebih dalam kali ini ialah Kebudayaan Aceh. Di mana Aceh merupakan salah satu Daerah Istimewa di Indonesia. Selain out rakyat Aceh menjadikan ajaran Islam sebagai dasar yang mengatur kehidupan. Tak heran daerah ini terkenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”.
Pada masa penjajahan, semangat dan
peranaan rakyat Aceh sangat besar dalam mengusir penjajah. Walaupun hanya
dengan senjata tradisional seperti Rencong, mereka tak gentar melawan penjajah.
Hal inilah yang membuat Aceh mendapat seutan “Tanah Rencong”. Lalu seperti
apakah kehidupan rakyat Aceh sehari-harinya?
Dan di tengah Maraknya arus Globalisasi yang masuk ke
Indonesia, melalui cara -cara tertentu membuat Dampak Positif dan Dampak
Negatifnya sendiri Bagi Bangsa Indonesia khususnya di Aceh. Terutama dalam
Bidang Kebudayaan. Karena semakin terkikisnya nilai - nilai Budaya kita oleh
pengaruh budaya Asing yang masuk ke Negara kita.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa,
maka Pembangunan Nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan
kesenian yang mampu melahirkan "nilai-tambah kultural". Maka setiap
budaya yang ada harus dipertahankan untuk menjaga pengaruh globalisasi yang
semakin kuat.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
dipaparkan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana Pengaruh Globalisasi
terhadap kebudayaan di Aceh?
2.
Bagaimana dampak dari Globalisasi terhadap Kebudayaan di Aceh?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaiman pengaruh
globalisasi terhadap kebudayaan aceh.
2. Untuk mengetahui dampak dari
globalisai terhadap kebudayaan aceh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Globalisasi
Menurut asal katanya, kata "globalisasi"
diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad
Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu
(benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa
dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan,
kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung
dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau
proses sejarah, atau
proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia
makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya
masyarakat.
Globalisasi adalah suatu proses dimana antarindividu, antarkelompok,
dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu
sama lain yang melintasi batas negara. Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan
orang dengan globalisasi:
1.
Internasionalisasi:
Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal
ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun
menjadi semakin tergantung satu sama lain.
2.
Liberalisasi:
Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara,
misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
3.
Universalisasi:
Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun
imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi
pengalaman seluruh dunia.
4.
Westernisasi:
Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin
menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi
Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Desa Pulo Rungkom, kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh
Utara.. Alasan pemilihan lokasi tersebut didasari pada hasil survey sementara
bahwa Desa Pulo Rungkom memiliki tingkat kebudayaan dan rasa gotong royong masih sangat kental, dan masih belum
terpengaruh secara signifikan dalam hal kebudayaan, selain itu data yang
didapatkan lebih relavan dan tepat dengan judul yang dianalisis.
3.2 Pendekatan Penelitian
Sebagaimana
lazimnya sebuah penelitian sosial, untuk pendekatan data yang diperoleh,
penulis menggunakan pendekatan penelitian data kualitatif, yaitu penelitian
dengan mengumpulkan data lapangan kemudian dibahas dan dianalisis dengan mengacu
pada landasan teoritis. Penulis menggunakan pendekatan ini dikarenakan
pendekatan kualitatif sangat relevan dalam mengkaji atau meneliti tentang
efektivitas perubahan kurikulum terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Sedangkan
metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran yang komprehensif dan mendalam
berdasarkan pemahaman terhadap
efektivitas perubahan kurikulum terhadap peningkatan mutu pembelajaran.
3.3 Informan Penelitian
Informan adalah orang-orang yang dapat memberi informasi atau data yang
terkait dengan masalah dan fokus penelitian yang akan diteliti. Informan dalam
penelitian ini adalah Tgk Imum, Keuchik Gampong, dan beberapa masyarakat desa
Pulo Rungkom
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian yang
akan peneliti lakukan kurang lebih selama dua bulan, yaitu dalam melakukan
pengamatan atau observasi serta wawancara. Tahap-tahap yang dilakukan adalah
terlebih dahulu peneliti melakukan observasi. Dalam observasi ini, penulis
meneliti, meninjau dan melihat secara langsung tentang keadaan objek-objek yang
akan diteliti, terutama dalam pemenuhan kriteria konsumen yang jadi informan,
kemudian mewawancarai informan di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Aceh Utara. Wawancara dilakukan secara purposif yaitu melakukan
wawancara kepada pihak-pihak yang mampu menjawab permasalahan penelitian ini,
serta melakukan analisis terhadap data yang telah diperoleh.
3.6
Teknik Analisis Data
Tahapan sesudah
pengumpulan data adalah analisis data. Kegiatan pengumpulan data yang benar dan
tepat merupakan jantungnya penelitian, sedangkan analisis data akan memberikan
kehidupan dalam kegiatan penelitian.
3.7 Waktu dan
Tempat Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Desa Pulo Rungkom, pada tanggal 01Februari sampai dengan 10
Februari 2015, karena bertepatan dengan acara pesta perkawinan di Desa
tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
3.1 Dampak
Globalisasi Terhadap Masyarakat Aceh
Kebudayaan Aceh dari zaman dahulu sangat erat
kaitannya dengan adat dan kebudayaan Islam. Seperti kita ketahui pada zaman
kerajaan Aceh dulu dimana terdapat banyak upacara-upacara agama di kerajaan,
seperti:
1. Perayaan
hari raya puasa; Pemerian arak-arakan raja dari istana sampai dari istana
sampai masjid Bait ur-Rahman. Pedang raja diarak di hadapan sultan, begitu pula
pingan sirih (puan) dan kantong sirih. Setelah bersembahyang di belakang tirai
(kelambu) di tempat yang dinamakan rajapaksi, sultan pulang naik gajah upacara
2. Adat majelis
hadirat Syah Alam berangkat sembahyang hari raya haji ke masjid Bait ur-Rahman;
arak-arakan sultan pergi ke mesjid untuk bersembahyang pada hari ke-10 bulan
Zulhijjah.
3. Majelis Syah
Alam berangkat sembahyang ke masjid jum’at, iring-iringan pada saat sultan
pergi ke masjid setiap hari jum’at. Dari contoh-contoh diatas dapat kita
ketahui bahwa sejak zaman dahulu kebudayaan Aceh sudah sangat lekat dengan
Islam. Namun, semenjak Aceh dimasuki globalisasi banyak perubahan yang terjadi
didalam masyarakat Aceh, terutama pada remaja-remaja Aceh.Para remaja di Aceh,
terutama di Banda Aceh pada saat ini banyak membentuk komunitas-komunitas yang
kebarat-baratan, seperti Geng emo, Geng Motor, dan Anak Punk. Mereka hanya
menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal tidak berguna, seperti tauran antar
geng. Mereka mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat.
Dampak
negative dari globalisasi ini juga dapat kita lihat dari moral masyarakat Aceh
yang semakin merosot akibat pengaruh budaya luar. Remaja-remaja Aceh pada saat
ini suka menggunakan pakaian-pakaian ketat dan terbuka tanpa merasa malu,
bahkan mereka bangga mengenakan pakaian seperti itu. Banyak remaja yang tidak
lagi hormat kepada orang tua. Para remaja Aceh banyak yang berpelukan dijalanan
dengan pasangan mereka tanpa adanya rasa malu. Ini semua terjadi akibat apa
yang selama ini mereka lihat di televisi. Bahkan beberapa orang tua bangga
apabila anak gadis mereka sering berpergian bersama lelaki. Hal-hal yang
seperti ini dianggap tabu sebelumnya. Namun, karena mereka sering melihat
hal-hal seperti ini di media elektronik, lama-kelamaan mereka mengganggap hal
seperti ini biasa saja
Globalisasi
telah menjadi virus bagi budaya dan moral bangsa Aceh yang sebelumnya sangat
baik. Virus ini semakin lama semakin susah untuk dikontrol. Perubahan-perubahan
pada kebiasaan masyarakat aceh semakin terasa, masyarakat Aceh yang sebelumnya
sangat kekeluargaan menjadi masyarakat individualis dan tidak memperdulikan
orang sekitar. Kemerosotan moral dan kebudayaan akibat globalisasi mulai
merebak di Aceh semenjak tahun 2000-an, namun semakin buruk pasca tsunami,
kemungkinan besar ini karena banyaknya NGO yang masuk ke Aceh dan menyebarkan
pemikiran-pemikiran mereka. Bahkan angka perceraian meningkat sejak masuknya
LSM-LSM yang mengatakan mereka adalah pejuang kesetaraan gender. Hal-hal sepele
dalam keluarga yang tadinya dapat diselesaikan secara baik-baik saat ini bisa
menjadi permasalahan besar dan berakhir pada perceraian.
Jangan
sampai Aceh ke depan digadaikan oleh kelompok donatur yang tidak memedulikan
adat istiadat dan agama di Aceh”. Pelatihan fasilitator yang digerakkan oleh
Komunitas Peradaban Aceh telah memadukan model pelatihan antara pendidikan di
dalam ruangan (indoor theory) dan simulasi terjun ke dalam masyarakat (live
in). Dari hasil terjun ke masyarakat ketiga desa pesisir di Lhokseumawe (Ulee
Jalan, Ujong Blang, dan Hagu Barat Laut) para peserta menyimpulkan bahwa
globalisasi bantuan di Aceh telah berubah menjadi bencana baru dibandingkan
berkah. Menurut Ketua Komunitas Peradaban Aceh, Teuku Kemal Fasya, hasil dari
penelitian partisipatif para fasilitator di masyarakat pesisir tersebut
memberikan sinyal bahwa masyarakat sudah cukup kritis dengan keberadaan NGO di
Aceh. Jika dahulu masalah pembangunan ada pada kebijakan politik Orde Baru yang
sentralistik, kini mengarah pada jaringan global bantuan yang dianggap
merenggut keindahan gampong Aceh masa lampau. Masyarakat Aceh semakin rindu
dengan romantika gampong Aceh yang permai dan seimbang secara kultural dan
agama.
Pembangunan
Aceh yang sewenang-wenang telah menyebabkan tersebarnya virus budaya global.
Yang paling nyata adalah kurangnya solidaritas dan mekarnya semangat
individualistis. Ini yang menyebabkan masyarakat Aceh membangun fiksasi
kemajuan seperti yang ada pada masa Sultan Iskandar Muda. “Padahal masa lalu
itu tak mungkin diulang,” ungkap Kemal yang ditemui terpisah. Seorang peserta
dari kalangan buruh Rasyid, berpendapat dibutuhkan strategi pemberdayaan baru
bagi Aceh, yaitu mengantikan semangat filantropi dolar yang dibawa oleh
fasilitator asing dan non-lokal. Namun, dampak-dampak negative dari globalisasi
ini sebenarnya dapat kita tanggulangi apabila pemerintah dan masyarakat mau
saling bahu-membahu dalam perbaikan moral bangsa, Seperti:
1. Orang tua
seharusnya mengerti internet agar dapat mengawasi apa yang dilakukan oleh
putra-putri mereka di dunia maya.
2. Orang tua
lebih mengontrol anak-anak mereka dalam pergaulan.
3. Sekolah-sekolah
menanamkan nilai-nlai islam yang lebih dalam, sehingga para remaja dapat
membedakan dan memilih yang mana baik untuk mereka dan mana yang buruk bagi
mereka.
4. Wilayatul
Hisbah (WH) dapat lebih mengontrol masyarakat Aceh, tidak hanya mengontrol
orang-orang dari kalangan bawah, tetapi mengontrol semua kelompok masyarakat
tanpa pandang bulu.
Namun, tidak semua hal dari globalisasi ini berdampak
negative terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Media elekronik dan media cetak
juga mempunyai banyak efek positif, sebagai contoh internet mempunyai informasi
yang sangat luas, yang dapat memperluas dan membuka pikiran kita.
Sebagai salah satu ranah perang yang paling aktif di
kawasan Asia Tenggara, Aceh sekian lama menjadi mimpi buruk bagi banyak orang.
Orang banyak yang saya maksud di sini mungkin adalah si Barat dalam
membayangkan Aceh sebagai timur tropis yang seksi, indah dan eksotis dengan
masyarakat ramah, yang senantiasa menghidangkan tarian-tarian pula jamuan
kepada para pendatang. Dalam kenyataan, kurun seratus tahun, hitungan kotor
menakar perang panjang semenjak 1873-2005 telah mengerkah lempeng kehidupan
normal masyarakat Aceh (normal sebagaimana saya mendefinisikan bayangan orang
terhadap Aceh sebagai bagian dari puak timur dunia).
Bicara
tentang Aceh pasca bencana alam paling populer di penghujung tahun 2004
tersebut mungkin seperti berkisah tentang sebuah kaum yang telah jadi
“kampungan” karena lama berada dalam “tempurung” yang samasekali sulit beroleh
celah melongok ke luar. Maka setelah begitu lama menjalani hari-hari yang sama
(semisal menebak-nebak siapa yang tertembak hari ini, atau meramal kematian
sendiri) dan tak beranjak dari peristiwa yang itu-itu juga, pasca bencana alam
tersebut, masyarakat Aceh seolah diajak berlari mengikuti kelebat peristiwa
demi peristiwa yang berganti secepat gelombang tsunami. Kondisi yang porak dan
puak-puak orang yang masih terbelalak atas dahsyatnya humbalang gempa dan ombak
raya, serta merta berubah menjadi suguhan bernama solidaritas bantuan yang
marak.
3.2 Ular Kapital Dalam Karung Bantuan
Bencana
tsunami yang menghumbalang pada 26 Desember 2004 entah harus disyukuri atau
tidak (karena telah menelan begitu banyak korban jiwa dan menghancurkan
pelbagai infrastruktur masyarakat) membuka babak baru sejarah Aceh. Perjanjian
damai antara Gerakan Atjeh Merdeka dengan pemerintah RI menjelma di tengah
proses pemulihan kembali kondisi Aceh. Dalam kenyataan kemudian, kondisi pasca
perang dan upaya pembangunan kembali usai musibah alam tersebut, sebaliknya
dimanfaatkan benar oleh modal luar untuk menanamkan investasi di Aceh. Setelah
ajang pemilihan kepala daerah secara langsung yang dimenangkan pasangan Irwandi
Yusuf dan M. Nazar, investor asing berlomba masuk ke Aceh . Sikap Gubernur baru
yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pemilik modal untuk membangun
imperium bisnis mereka di Aceh disambut gempita.
Sudah bukan
rahasia bila globalisasi yang didesakkan para penganjur kapitalis dalam wujud
komodifikasi adalah upaya mencari pasar-pasar baru dan biasanya mereka sangat
peka terhadap keunggulan lokasi-lokasi baru tersebut. Beberapa aspek yang kita
tahu menjadi pertimbangan ekonomi kapital terhadap lahan baru (semua hal
tersebut dalam asumsi saya tersedia di Aceh) adalah; upah pekerja yang rendah,
serikat pekerja yang lemah, pajak ringan, intervensi negara dan birokrasi (yang
sehat) lemah . Kondisi Aceh yang diramal akan stabil pasca perang menyusul
penandatangan kesepakatan damai di Helsinki antara Gerakan Atjeh Mardeka (GAM)
dengan RI memenuhi seluruh kriteria sebuah lahan baru yang empuk bagi
pasar kapitalisme global.
3.3 Gambaran Keadaan Terakhir
Proses
rekontruksi Aceh terutama dalam membangun infrastruktur fisik seperti gedung,
jalan, jembatan dan sebagainya menjadi ajang megaproyek kapitalis transnasional
pula. Dengan putaran dana berjumlah triliunan rupiah. Kebutuhan terhadap modal,
bahan baku dan tenaga kerja dengan kuantitas luar biasa menjadi peluang empuk
dan kemudian menghempang Aceh ke dalam skema (apa yang kemudian kita sebut
sebagai) politik bantuan. Tentang Aceh sebagai lahan tua yang kaya akan
kandungan barang berharga dari gas, emas, semen dan beragam komoditi pasar
dunia yang teramat menggairahkan, adalah hal yang bukan rahasia pula bagi radar
kapital yang terkenal jeli. Jalan masuk bagi “pedagang-pedagang lintas batas”
terbuka lebar dalam kondisi darurat untuk pemulihan Aceh. Beberapa korporasi
disinyalir sudah membuat perjanjian dengan pemerintah setempat untuk mengeruk
hasil perut bumi yang selama ini tertahan karena kondisi keamanan yang buruk.
Pemikir
kajian kebudayaan semisal D. Harvey menyatakan restrukturisasi ruang sebagai
hasil rekayasa bagi penyebaran kapitalisme industrial . Senada dengan Harvey,
tinjauan Manuel Castells meski cenderung menelaah tentang struktur kota sebagai
hasil rekayasa kapital, Castells lebih tajam membongkar fungsi fasilitas
seperti rumah, sekolah, layanan, transportasi, dan tempat bersantai
dikondisikan menjadi selingkup sebagai penciptaan lingkungan yang kondusif
untuk bisnis.
Maka kita
melihat bagaimana cepatnya perubahan wujud kota Banda Aceh. Berikut perubahan
tingkah laku warga yang mendiaminya. Kedatangan pekerja-pekerja asing seolah
mendesak pemerintah kota Banda Aceh untuk segera melakukan perombakan
besar-besaran wujud tata kota dengan konsep modern yang sama sekali terlihat
sebagai usaha merubuhkan kenangan terhadap sejarah. Melenyapkan tradisi. Dalam
konteks usaha-usaha komersial misalnya banyak orang yang tergerak untuk
berjualan karena ada permintaan pasar yang meningkat selama banyak orang yang
bertandang ke Aceh, jadi yang berkembang adalah ekonomi konsumsi bagi
masyarakat, bukan bentuk ekonomi produksi. Akibatnya berputarnya uang dalam
jumlah besar hanya berujung pada kenaikan harga barang dan laju inflasi yang
mencemaskan.
Gaya hidup
mewah juga mulai dipraktekkan oleh sebagian kalangan Orang Aceh yang beroleh
berkah dan memiliki kemampuan mengakses dana melimpah bantuan tsunami. Gaji
yang selama ini hampir merupakan angka mimpi, kini dapat diperoleh dengan
memiliki sedikit keahlian tertentu. Baik di lembaga-lembaga internasional
maupun BRR. Kecenderungan ingin berebut jatah bantuan tsunami juga menciptakan
trend Orang Aceh membangun lembaga-lembaga swadaya masyarakat, tentunya dengan
isu-isu yang mesti relevan dengan kehendak pemilik uang. Kenyataannya memang
banyak lembaga-lembaga tersebut memperoleh support dana dan tentunya juga
mengubah standar pendapatan orang-orang yang bergiat dengan pekerjaan itu.
Ketika
perputaran uang bantuan demikian deras di Aceh maka yang muncul adalah
pertarungan merebutnya. Ini memicu sebagian Orang Aceh yang tidak memiliki
kemampuan bekerja profesional dengan standar lembaga-lembaga swadaya tersebut
untuk memilih jalan lain menuju gelanggang perebutan uang. Maka ada Orang Aceh
yang kemudian seperti kehilangan kesadaran hingga begitu bernafsu menggunduli
hutan karena permintaan akan kebutuhan kayu meningkat pesat. Atau para mantan
orang kuat yang dulu berperang dengan senjata (dari kedua belah pihak) kini
kembali mengandalkan track record nya untuk memperoleh “jatah”. Kesemua tingkah
polah ini, kita tahu, hasilnya adalah sementara. Satu atau dua tahun ke depan,
gaji besar dari mereka para pekerja di lembaga asing pascaupaya rekonstruksi akan
menjadi kenangan. Akan menjelma sekian ribu pengangguran high class yang pernah
dilimpahi berbagai fasilitas duduk termangu sambil mencemaskan keadaan
gunung-gunung yang butuh puluhan tahun menghidupkan kembali pohon-pohon yang
kokoh untuk menghadang bandang agar tak menyapu kampung.
4.4
Kebudayaan yang
Masih Kental Pada Saat Acara Penikahan.
Budaya yang melekat pada masyarakat
Aceh pada umumnya ketika berlangsungnya pesta perkawinan dari dulu memang
sangat berbeda dengan daerah yang lain. Ini dikarenakan budaya yang ada di
beberapa daerah di aceh masih terjaga sebagai warisan kebudayaan. Tidak hanya
itu, rasa gotong royong yang masih terjalin dengan kuat, menjadikan budaya Aceh
masih bertahan dan tidak mudah untuk ditukarkan dengan budaya lain yang banyak berubah
di daerah perkotaan. Pada saat pesta pernikahan, jika kita melihat ke daerah
perkotaan, maka kita akan melihat banyak acara hiburan yang bernuansa
Westernisasi yang diadopsi sedemikan rupa sehingga merubah pola pikir kepada
masyarakat, merekamasih mengira hal tersebut lumrah terjadi karena tidak sama
dengan budaya orang. Tetapi pada kenyataannya hiburan semacam itu tidak pernah
dilakukan dalam masyarakat aceh itu sendiri.
Dalam
kebudayaan aceh pada seriap pesta pernikahan biasanya diadakan Dalail khairat,
Rukon agama dan lainnya sebagai selingan untuk menyambut kedatangan tamu yang
di undang. Ini menunjukkkan bahwa budaya yang ada dalam masyarakat aceh masih
dijaga sampai sekarang.
BAB V
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa globalisasi memiliki dampak
positif dan negatif. Globalisasi dapat membawa perubahan yang sangat besar bagi
sebuah negara maupun dunia, baik di bidang teknologi, sosial, budaya
masyarakat, politik, ekonomi, lapangan pekerjaan dan banyak hal lainnya.
Perubahan di aceh dapat di lihat setelah tsunami banyak ditemukan makanan siap
saji dan cafe-cafe yang disertakan dengan wiffi nya. Budaya aceh pun
perlahan-lahan mulai memudar atau hilang di masyarakat aceh ini dikarenakan
dampak dari globalisasi tersebut.
b.
Saran
Kepada pemerintah aceh supaya
menggalakkan kembali budaya aceh di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
hampir pudar di masyarakat aceh sendiri, dan juga dibutuhkan partisipasi
masyarakat dalam mewujudkan kembali budaya aceh di masyarakat aceh.
DAFTAR PUSTAKA
http://tikarpandan.org.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.com
http://cairudin.blogspot.com/2011/01/globalisasi-dan-korporasi.com
http://hanimumankz.blogspot.com/2011/01/dampak-negatif-globalisasi- terhadap.com
Bourdieu, Pierre.
1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University
Press.ISBN
978-0-521-29164-4
Cohen, Anthony P. 1985. The
Symbolic Construction of Community. Routledge: New York,
Koenjaraningrat. 1990.
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Adeney, Bernard T. 1995. Etika
Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius. Al-Hadar Smith
Barzilai, Gad.
2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legahkjkjl
Identities. University of Michigan
Press.
Cohen, Anthony P. 1985. The
Symbolic Construction of Community. Routledge: New York,
0 komentar:
Posting Komentar